MAJT Semarang – Senin (8/9/2025) Sekitar pukul 01.30 WIB, . Di ruang utama Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT Shalat khusuf dipimpin KH Zaenuri Ahmad AH yang bertindak sebagai imam. Suasana hening menyelimuti ruangan ketika takbir pertama menggema, diikuti lantunan tasbih, tahmid, dan istighfar. Dua rakaat shalat dengan rukuk dan sujud panjang dijalankan dengan penuh kekhusyukan, Di belakangnya ratusan jamaah larut dalam keheningan menunduk penuh khidmat.
Ketika takbir pertama menggema, sunyi merambat hingga ke sudut-sudut masjid yang berarsitektur megah. Kalimat tasbih, tahmid, dan istighfar terangkai, menyertai rukuk panjang dan sujud yang seakan merapatkan jiwa pada Sang Pemilik semesta.
Usai shalat, khutbah khusuf disampaikan Prof Dr KH Ahmad Izzuddin, MAg, Ketua Umum Ahli Falak Asia Tenggara Dalam khutbah bertema Harmoni Kosmik dan Tanda Kebesaran Allah SWT, ia mengingatkan jamaah bahwa gerhana merupakan bagian dari keteraturan alam yang menjadi ayat kebesaran Sang Pencipta.
“Alam semesta ini adalah kitab terbuka,” ucapnya. “Gerhana bukan kebetulan, melainkan tanda dari keteraturan kosmik. Bumi, Bulan, dan Matahari tunduk pada sunnatullah. Sains modern membuktikan apa yang Al-Qur’an tegaskan: bahwa Matahari dan Bulan beredar pada orbitnya, malam dan siang silih berganti semua berada dalam kendali-Nya.”
Di tengah khutbah, Prof Izzuddin menukil QS Fushshilat:53, “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri…” Ayat itu terasa hidup malam itu. Jamaah menengadah, memandangi Bulan yang semakin meredup. Seolah semesta sendiri bersaksi bahwa kebesaran Allah meliputi ruang tak terbatas.
Ia juga mengurai keteraturan gerhana melalui sains. “Posisi sejajar Bumi, Bulan, dan Matahari bukan sekadar perhitungan astronomi. Setiap peredaran yang teratur adalah ayat Allah. Fenomena ini meneguhkan keimanan kita: bahwa alam tunduk pada hukum-Nya.” Suaranya bergetar, menyentuh sisi terdalam hati jamaah yang mendengarkan.
Usai khutbah, doa-doa panjang dipanjatkan. Dzikir lirih terdengar seperti aliran sungai di tengah malam. “Subhanaka, ma khalaqta hadza bathil,” gumam beberapa jamaah, mengulang ayat Ali Imran: 191 dengan mata berkaca.
Sementara itu, di pelataran masjid, sejumlah santri dan penggemar astronomi mengarahkan teleskop ke langit. Mereka mengamati gerhana, mendokumentasikan setiap fase dengan kagum. Cahaya purnama yang memudar digantikan semburat merah tembaga (blood moon), menghadirkan panorama yang menegaskan kebesaran Illahi.
Sekitar pukul 04.00 WIB, bulan kembali menampakkan sinarnya, menandai berakhirnya fenomena alam tersebut. Jamaah pun meninggalkan MAJT dengan rasa takjub dan ketenangan, membawa pesan bahwa di balik peredaran benda langit terdapat tanda kebesaran Allah SWT