Ruwahan : Sunnah atau Bid’ah?
Category : Khutbah Jumat
Hari-hari ini kita sudah berada dalam bulan Sya’ban, atau orang Jawa menyebutnya sebagai bulan Ruwah. Di antara tradisi yang masih lestari dan berjalan adalah Ruwahan, yang berasal dari kata arwah (ruh), yaitu upacara selametan atau kenduren dengan mengundang para tetangga dan saudara dekat untuk bersama-sama mendoakan arwah para leluhur yang sudah meninggal, agar diberikan pengampunan dan kehidupan yang penuh nikmat di alam kuburnya.
Upacara Ruwahan yang ditandai dengan pembagian berkat yang berisi aneka menu seperti ketan, apem, pisang raja, dan lain-lain. ruwahan biasanya dilakukan oleh keluarga secara individu, maupun oleh jamaah secara kolektif (ruwahan massal), seperti oleh masjid, musholla, atau kelompok masyarakat tertentu.
Masyarakat masih sering memperbincangkan, apakah tradisi Ruwahan itu termasuk sunnah yang dianjurkan ataukah bid’ah yang harus ditinggalkan?. Oleh karena itu dalam tulisan kecil ini akan diuraikan dua masalah yang terkait, apakah mendoakan khusus dibulan Ruwah ada tuntunannya? Dan apakah mendoakan orang yang sudah mati itu diperbolehkan dan bermanfaat?
Ruwahan bid’ah?
Banyak yang berpendapat bahwa tradisi ruwahan adalah bid’ah yang harus ditinggalkan, karena tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya. Untuk menjawab apakah Ruwahan bid’ah atau bukan, maka perlu ditinjau tentang pengertian bid’ah itu sendiri. Dalam Kamus Lisanul ‘Arab karya Ibnu Manzur, bid’ah berasal dari kata bada’a atau idtada’a, yang berarti membuat atau memulai sesuatu yang baru dalam hal apa saja.
Sedangkan al bid’atu berarti sesuatu yang baru. Misalnya disebutkan dalam QS. Al Baqarah : 117, badi’us samawati war ardhi (Allah Pencipta langit dan bumi). Maksudnya, Allah menciptakan tanpa ada contoh atau hal yang sama sebelumnya. Sedangkan menurut para ulama, bid’ah dikhususkan hanya dalam masalah agama atau ibadah.
Menurut KH. Hasyim Asyari dalam Risalah Ahlus Sunnah wal Jamaah, bid’ah adalah pembaharuan dalam perkara agama seakan hal tersebut merupakan ibadah baru dan bagian dari agama, padahal secara hakikat dan bentukanya bukan ibadah. Termasuk bid’ah misalnya menambah jumlah rakaat dalam shalat atau membuat bentuk ibadah sendiri yang tidak ada tuntunan.
Apabila sesuatu yang baru itu tidak menyangkut ibadah mahdhah dan tidak menyalahi aqidah (tidak musyrik), maka tidak termasuk bid’ah yang dilarang. Pembaharuan dalam bidang muamalah dan teknologi, seperti penggunaan televisi, radio, telepon, microphon/spiker, komputer, kendaraan, dan sebagainya, yang membawa kemaslahatan umat dan mempermudah ibadah justru dianjurkan, sebagai bid’ah hasanah. Apakah ada orang yang berani mebid’ahkan haji dengan naik pesawat?
Padahal Nabi tidak pernah melakukannya. Adakah yang membid’ahkan pengeras suara di masjid atau penggunaan ac pendingin? Padahal Nabi tidak pernah mengenalnya.
Ruwahan, meskipun tidak pernah dipraktekkan oleh Nabi saw dan para sahabat, tetapi tidak bisa disebut bid’ah yang dilarang.
Dalam acara Ruwahan, yang dibaca adalah kalimah-kalimah thayyibah, seperti istighfar, tahlil, tahmid, tasbih, shalawat Nabi, dan ayat-ayat Al qur’an, yang justru sangat dianjurkan banyak membacanya dalam keadaan apapun. Ketika selesai berdoa ruwahan itu, yang hadir dibagi berkat sebagai bentuk shadaqah dan hadiyah. Kita juga diperintahkan untuk banyak sodaqoh.
Maka Ruwahan adalah tradisi yang positif dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Di dalam ruwahan ada perbuatan dzikir dan tercipta kebersamaan dan ukhuwah.
Berkirim doa untuk orang yang sudah mati ini tentu bisa kapan saja. Tetapi bulan Ruwah ini dianggap sekedar moment yang baik, sebagaimana momen-momen yang lain. Ruwahan sekedar tradisi yang sudah berjalan sebagaimana tradisi-tradisi yang lain. Membuat moment atau tradisi adalah tidak dilarang, sepanjang tidak diyakini bahwa hari atau bulan tertentu memiliki kekuatan/magis, sedangkan waktu yang lain tidak. Misalnya meyakini jika menikah di bulan Muharram/Syura, maka akan mendapatkan celaka nantinya. Atau jika berkirim doa di luar hari ke 40 (matang puluh), atau 100 (nyatus), tidak diterima. Keyakinan inilah yang dilarang, sebab akan terjerumus pada perbuatan musyrik.
Masyarakat kita sudah sangat paham dan bisa membedakan mana tradisi dan mana sesaji, mana muamalah dan mana ibadah yang tidak boleh berubah.
Apakah doa sampai?
Dimasyarakat masih banyak pertanyaan, apakah mendoakan orang mati itu bermanfaat bagi si mati, dan apakah doanya sampai?. Ada masyarakat yang berkeyakinan, bahwa tidak ada manfaatnya mendoakan orang yang sudah mati, karena amalnya sudah terputus. Sehingga ada orang yang tidak mau menghadiri tahlilan yang didalamnya mendoakan orang mati. Atau dia hadir tetapi dia diam dan tidak ikut berdoa. Bahkan ada yang ektrim, tidak mau makan berkat dari selametan.
Ketika mendapat kiriman berkat, apapun isinya ia buang atau dibuat makanan ayam. Pendapat ini tentu tidak benar, tidak berdasar, dan juga tidak memiliki perasaan kebersamaan.
Ada banyak dalil, baik ayat Al Qur’an, Hadits Nabi saw, maupun pendapat para ulama’, yang menyatakan, bahwa doa orang yang masih hidup kepada orang yang sudah meninggal adalah bermanfaat dan diperintahkan. Al Qur’an memerintahkan agar seorang muslim selalu berdoa meminta ampun atas dosa-dosanya sendiri dan saudara-saudaranya yang telah beriman terdahulu (QS. Al Hasyr : 10). Saudara-saudaranya yang telah beriman lebih dahulu, artinya adalah orang-orang yang sudah meninggal. Seorang anak diperintahkan berdoa, “Ya Rabb, ampuni dosa-dosaku, dosa-dosa kedua orang tuaku, berilah rahmat sebagaimana mereka berdua mendidikku ketika masih kecil”.
Setiap Jum’atan khatib juga selalu memanjatkan doanya, “Ya Allah, ampunilah dosa-dosa muslimin muslimat mu’minin mu’minat, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat”.
Masih banyak lagi doa-doa, tidak hanya meminta ampunan, tetapi juga meminta kebaikan hidup di dunia dan di akhirat, rizqi yang halalan thayiban, diberikan kesehatan yang sempurna, ilmu yang bermanfaat, pemimpin-pemimpin yang adil, anak-anak yang shalih, dan setiap akatifitas apapun yang baik harus disertai dengan doa.
Doa adalah inti ibadah. Diriwayatkan oleh At Tirmidzi dalam Hadits nomor 2969, Rasulullah saw bersabda : Ad Du’a mukhkhul ibadah. Hakikat ibadah adalah panjatan doa kepada Allah swt. Seluruh bacaan dalam shalat adalah doa, puasa, zakat, dan haji adalah media agar doa-doa dikabulkan. Dalam Islam diajarkan tentang berbagai doa, dari mulai bangun tidur, mandi, memakai baju, bercermin, makan, masuk rumah, masuk wc, berhubungan suami istri, sampai tidur lagi, semua ada doanya.
Diajarkan juga adab berdoa, lafadz-lafadz tertentu, waktu-waktu dan tempat-tempat khusus yang mustajab untuk berdoa, termasuk hal-hal yang menyebabkan doa tidak dikabulkan. Doa sendiri adalah ibadah yang diperintahkan, sebagaimana firman Allah swt :
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Berdoalah kepada-Ku pasti Aku kabulkan. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku (tidak mau berdoa), mereka akan masuk ke neraka jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS. Al-Mukmin: 60).
Dari ayat ini dapat dipahami, bahwa berdoa hukumnya wajib. Orang yang berdoa adalah pertanda ia menyembah, menundukkan diri, dan menggantungkan hidup dan matinya lillahi rabbil ‘alamin. Tidak mungkin diperintahkan berdoa jika tidak ada manfaatnya atau tidak sampai. Maka aneh jika ada orang berpendapat atau meyakini bahwa doa kepada orang mati tidak akan sampai dan tidak bermanfaat.
Lalu bagaimana sikap atau perlakukan kita yang masih hidup kepada orang tua kita yang sudah mati? Kita tidak bisa mebayangkan bagaimana beragama tanpa doa. Dengan dzikir dan berdoa itulah hati menjadi tenang dan tentram karena ada Allah yang mencukupi, hidup terasa aman dan nyaman karena ada Dzat yang melindungi, dan akan terus melangkah di jalan yang lurus karena ada Dzat yang mengawasi.
Khutbah lengkap bisa disaksikan melalui link berikut :